Kamis, 24 Januari 2008

Wawancara Khusus

Berakhir Pekan Dengan H. Tedi Herdiana, SE

Perlu Kesinambungan Pembangunan Antar Generasi

Jika digali secara detail, Ciamis ternyata menyimpan banyak potensi Sumber Daya Manusia yang luar biasa. Banyak orang Ciamis yang menjadi tokoh di luar daerah, seperti politisi, akademisi, birokrat maupun pengusaha. Satu diantaranya adalah H. Tedi Herdiana, SE. Tokoh Pengusaha muda, kelahiran 3 Januari 1973 ini, tercatat sebagai General Manager sebuah perusahaan tekstil di Bandung.

Putera kedua dari pasangan Drs. H. Ahmad Gunawan (Terahir Wedana Pangandaran) dan Dra. Hj, Toto Sutianah (Guru SMAN 1 Ciamis) ini menyampaikan pendapatnya tentang kemajuan Ranah kelahirannya, Galuh Ciamis. Ia juga ingin berbagi pengalaman dengan rekan-rekannya guna kemajuan Ciamis kedepan.

Suami dari Hj. Leida dan ayahanda dari Alifia tedi (6) dan Fania tedi (3) ini memiliki hobi yang dapat dibilang “wah” untuk ukuran Ciamis. Ia tergabung dalam Harley Davidson Club (HDC) Bandung. Ia juga memiliki koleksi berbagai jenis kendaraan, baik roda dua maupun roda empat.

Kepada Wartawan KORAN IMSA, Aep Saepulloh dan Aditya Limarga, ia menceritakan soal perjalanan karier dan pendapatnya tentang tanah leluhurnya,. Berikut petikannya :

Bagaimana kang Haji (panggilan H. Tedi-red) melihat kondisi Ciamis sekarang?

Pada tahun 1991, saya meninggalkan Ciamis guna melanjutkan kuliah di STIEB (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bandung). Namun begitu karena orang tua saat itu masih bertugas di Ciamis, maka secara otomatis sering bolak balik Ciamis – Bandung. Saat itu, tentunya saya tau persis kondisi Ciamis.

Namun sejak tahun 1995 saya jarang pulang ke Ciamis, karena tuntutan pekerjaan. Hingga pada akhir tahun 2007 saya tertarik untuk sering pulang ke tanah kelahiran. Saya seringkali berkumpul dengan teman-tema waktu SMP atau SMA. Termasuk membicarakan tentang kemajuan Ciamis.

Dalam pandangan saya, wilayah Ciamis belum menunjukan ada kemajuan yang berarti. Ciamis masih nampak seperti dulu. Walaupun terlihat ada penataan disana-sini. namun itu belum menunjukan nilai perubahan tata kehidupan masyarakatnya.

Daerah tujuan wisata, seperti Pangandaran maupun Situ Lengkong Panjalu masih nampak kaku. Tidak terlihat geliat yang lebih greget sebagai daerah tujuan wisata.

Apakah kang Haji menganggap, pemda Ciamis telah gagal membuat desain perubahan?

Tidak. Pemda Ciamis hanya terlihat lambat dalam mendesain sebuah perubahan. Misalnya, tata ruang bagi kawasan industri baru ada sekarang-sekarang dan itu pun belum direspon oleh investor.

Upaya pengingkatan hasil pertanian yang menjadi visi Ciamis juga belum terlihat greget yang berarti. Hasil produksi pertanian petani, belum diimbangi oleh kemampuan pemda menggaet investor yang bergerak di bidang pengelolaan hasil pertanian. Sehingga kebijakan pemda terjebak pada usaha hilir saja. Dan ini beresiko pada output produksi pertanian dan akan sulit menentukan produk unggulan daerah.

Namun yang paling penting, harus ada kesinambungan kebijakan pembangunan antar generasi atau antar pimpinan. Bupati saat ini nampaknya sudah mengawali dengan mendesain perubahan di Ciamis yang bertumpu pada sektor Pariwisata dan Pertanian. Tinggal bagaimana, kebijakan ini disosialisakan kepada masyarakat guna mendapat dukungan yang luas secara lebih terarah.

Kontinuitas kebijakan ini juga harus dijadikan komitmen bagi pemimpin Ciamis kedepan. Sebab jangan-jangan, ganti pemimpin kebijakan ini akan dirubah total. Sehingga perubahan Ciamis, lambat sampai ke tujuan. Ini terbukti dengan kebijakan bupati Taufik dulu yang hingga saat ini kebijakannya tidak didukung oleh pemerintah yang menggantinya. Contohnya, jalan Lingkar Selatan yang belum juga berfungsi secara optimal hingga saat ini.

Jadi kuncinya, harus ada kesinambungan kebijakan pembangunan di Ciamis, baik antar generasi maupun antar pemimpin Ciamis. Siapa pun pemimpinnya.

Untuk mendongkrak kemajuan Ciamis, apakah punya konsep khusus?

Karena visi Ciamis adalah keunggulan di sektor Pariwisata dan Pertanian. Maka konsep pengembangan wilayah harus bertumpu kearah sana. Penataan Kawasan Wisata bukan berarti hanya Pangandaran saja, namun harus diciptakan desain kawasan wisata baru yang menarik untuk dikunjungi. Misalnya kota Banjar yang berniat membuat WaterBoom, sebuah kawasan wisata di pusat kota.

Kalau Kota Banjar sudah mendesain bentuk kawasan wisata kawasan perkotaan seperti itu. Maka Ciamis harus mampu membuat daerah tujuan wisata wilayah perkotaan. Misalnya dengan membuat kawasan wisata rekreatif multi fungsi, yang menggabungkan berbagai fungsi kawasan, misalnya untuk Sport Center, Outbond, Camping dan wisata lainnya.

Guna menunjang keunggulan dalam sektor pertanian, harus diciptakan kawasan pertanian terpadu. Dan ini sangat cocok dengan kawasan Ciamis utara. Disamping itu, harus ada kemampuan guna menarik investor guna menananamkan investasinya di Ciamis. Sebab, pembiayaan pembangunan tidak mungkin hanya tertumpu pada dana APBD.

Bagaimana Ciamis, jika dilihat dari aspek kinerja pemerintahan?

Pemimpin Ciamis adalah pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Begitu pun dengan pejabat pemerintahannya, ia digaji oleh uang rakyat. Karenanya, niat awalnya harus benar. Para pemimpin Ciamis harus mau melayani rakyat. Bukan sebaliknya, ingin dilayani oleh rakyat. Ini idealnya.

Dalam pandangan kang Haji, apakah di lingkungan pemerintahan Ciamis hal itu sudah tercermin?

Saya tidak dapat menyimpulkan sendiri, tapi rakyat Ciamis secara keseluruhan yang berhak menilainya. Namun dari beberapa kebijakan, nampak kontaproduktif. Pembelian Toyota Alpard beberapa waktu lalu dengan alasan untuk kepentingan melayani tamu. Kebijakan itu nampaknya belum menyentuh upaya pelayanan pemerintah kepada rakyat. Tetapi dapat dijabarkan, uang rakyat dimanfaatkan untuk melayani tamu dibanding melayani rakyatnya sendiri.

Pengadaan mobil dinas bagi para Camat misalnya, jika dilihat dari substansi pelayanan pejabat publik guna kepentingan rakyat, belum signifikan dengan kepantingan rakyat. Daihatsu Terios dengan model seperti itu, dapat dipahami lebih cocok guna kenyamanan para camat, jika dibanding dengan upaya pelayanan kepada rakyatnya.

Dari berbagai pembicaraan tentang kondisi Ciamis, sepertinya kang Haji paham benar tentang Ciamis. Apakah ini pertanda adanya minat untuk bersaing dalam pilkada Ciamis tahun 2008?

Saya tertarik memperhatikan kondisi Ciamis sejak jaman bupati Oma. Namun saat itu, hanya tau dari Koran. Saat itu juga saya masih sibuk mengikuti berbagai kegiatan ke luar negeri. Baru pada tahun 2006 lalu saya sering menyempatkan waktu pulang ke Ciamis.

Banyak teman-teman waktu SMP maupun SMA yang saya temui. Akhirnya, karena sering kumpul, ya terjadilah diskusi dengan berbagai tema. Termasuk didalamnya tentang kondisi Ciamis saat ini. Dan guna memperluas tali pertemanan juga mencari teman-teman yang sudah lama tidak ketemu, beberapa waktu lalu saya dan beberapa teman mengadakan reuni alumni SMPN 1 Ciamis angkatan 1988.

Saya juga mencoba mengarahkan teman-teman yang memiliki potensi dan berniat memajukan Ciamis. Diantaranya, mensponsori Tazakka Trail Adventur yang digelar dalam 4 serie. Tazakka Volly Ball Tournament. Begitupun dengan upaya pemeliharaan lingkungan, Tazakka (Perusahaan Travel Umroh yang dikelola H. Tedi-red), mensponsori penanaman pohon pada lahan seluas 25 ha, kurang lebih 10.000 pohon.

Namun jika semua yang saya lakukan bersama teman-teman berimplikasi politik. Dan menarik pribadi saya ke wilayah pilkada Ciamis tahun 2008 saya pikir itu wajar wajar saja. Banyak diantara teman-teman, yang sudah mengarahkan saya guna bersaing dalam pilkada Ciamis kedepan. Namun saya hanya bilang pada mereka, “Nanti Saya Pikirkan, Apakah Saya Siap Melayani rakyat”. Namun satu hal, kalau aturan tentang calon indefenden sudah diperbolehkan. Saya pasti maju.

Terakhir, bagaimana soal perjalanan karier kang Haji?

Saya lahir di Ciamis, 3 Januari 1973. SDN di Maleber 02, SMPN 1 Ciamis, SMAN 1 Ciamis dan kuliah Di STIEB Bandung jurusan akuntansi. Perjalanan karier diawali semasa kuliah dengan bekerja di sebuah divisi Per Bankan di Bandung. Pernah bekerja pada kantor akuntan Publik dan pernah bergabung mendirikan manajmen Astra bersama Ridwan Gunawan di Bandung. Bahkan pernah menjadi kondektur angkot.

Pada tahun 1997, saya bekerja sebagai konsultan pada sebuah perusahaan Jepang, Hatori Bandung. Dan pada tahun 2000 hingga sekarang dipercaya sebagai General Manager PT. Hatori Tektile bandung. Disamping itu, sejak tahun 2006 saya membuka cabang Tavel Umroh dan haji “Tazakka” di wilayah priangan Timur. ***

Selasa, 25 Desember 2007

Menyoal Penertiban PKL Pangandaran

Pedagang Kaki Lima (PKL) di sepanjang Pantai Pangandaran kini tak lagi bisa berdagang seperti biasanya. Kawasan tersebut beberapa waktu lalu ditertibkan aparat Satpol PP Kabupaten Ciamis. Konon dasar hukum yang digunakan adalah perda No 3 tahun 1987 jo No 16 tahun 1992 tentang K3. Namun benarkah perda tersebut dapat dipakai untuk memaksa para PKL Pantai Pangandaran meninggalkan kawasan wisata itu?

Kejadian Tsunami juli 2006, telah meluluhlantakan kawasan pantai, dan hampir dipastikan tidak lagi ditemukan adanya pedagang kaki lima. Disepanjang pantai, pemkab Ciamis memasang papan pengumuman, isinya melarang setiap orang mendirikan bangunan di sepanjang harim laut, berdasarkan perda 14 tahun 2000. Namun seiring pulihnya kembali arus kunjungan wisata ke Pantai Pangandaran, pedagang bermunculan kembali. Kawasan pantai pun dipenuhi kembali para PKL, termasuk ada diantaranya yang mendirikan bangunan, walaupun sifatnya semi permanen.

Penertiban PKL Pangandaran memang persolan lama yang tak pernah menemui titik temu. Pada satu sisi, pemkab Ciamis sebagai pemegang otoritas kawasan wisata mendambakan, kawasan pantai yang steril dari para pedagang, guna kenyamanan wisatawan. Bahkan pemkab Ciamis pada tahun 2006 menganggarkan dana hampir 1 milyar guna kepentingan relokasi PKL, walaupun kemudian tidak terealisasi karena pada pertengahan juli ditempa terjangan tsunami. Pada sisi lain, masyarakat yang telah puluhan tahun menggantungkan nasibnya dari keramaian arus kunjungan wisata tidak ada pilihan lain, karena perut tak bisa diajak kompromi.

Peristiwa tsunami memang menjadi momentum pemerintah guna mengadakan serangkaian penataan kawasan wisata pantai Pangandaran. Termasuk didalamnya, sikap pemerintah yang tidak lagi mentolelir adanya para PKL disepanjang pantai. Namun sayang, penertiban PKL di sepanjang pantai didasarkan pada perda K3, yang isinya tidak begitu tegas guna memaksa mereka meninggalkan kawasan pantai. Pada perda ini, hanya menegaskan dilarang berjualan di sekitar taman. Lantas darimana kawasan pantai “dinisbatkan” dengan taman?

Menurut Kabag Hukum Setda Pemkab Ciamis, Mahmud, SH pengambilan dasar persamaan kawasan pantai Pangandaran dengan Taman adalah Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kecamatan Pangandaran. Dalam RDTR tersebut, kawasan harim laut dinyatakan sebagai taman pantai.

Yang jadi pertanyaan kemudian, kalau kawasan Pantai dalam upaya penegakkan hukum disamakan dengan taman, lantas bagaimana dengan perahu nelayan yang hingga saat ini masih banyak terparkir disana? Bagaimana dengan pembuatan Landasan Pacu pesawat terbang milik Pengusaha Susi Pujiastuti dikawasan yang sama? Dan kenapa tidak sekalian ditertibkan? Jika hanya PKL yang ditertibkan, ini akan menjadi preseden buruk bagi upaya penegakan hukum secara adil. Bahkan para PKL bisa saja menggugatnya.

Aparat Satpol PP pun terkesan tidak percaya diri dengan apa yang ia lakukan. Terbukti, pejabat yang ditemui dalam urusan penertiban ini selalu menghindar untuk memberikan keterangan. Wartawan yang hendak meminta keterangan, malah disarankan untuk tidak memuatnya, karena persoalan sudah basi.

Terlepas dari hal itu, ada persoalan menarik yang dapat dijadikan kajian guna penataan kawasan wisata pantai Pangandaran kedepan. Ketika ada kesadaran hukum dari masyarakat, khususnya para pedagang sebagai bagian dari upaya ikut menciptakan kenyamanan bagi wisatawan. Nampaknya pemerintah belum siap dengan segala perangkatnya. Perangkat hukum yang tegas bagi mereka yang kemudian melanggarnya, maupun keberpihakan pemerintah dalam upaya menjamin kelangsungan hidup masyarakatnya, tanpa membedakan si lemah dan si kuat. (aep saepulloh/wartawan KORAN IMSA)

Senin, 24 Desember 2007

Berebut Potensi Politik Guru

Oleh : Aep Saepulloh, Redaktur KORAN IMSA


“Selamat Ulang Tahun Guruku, Namamu Akan Selalu Hidup dalam Sanubariku”, “Wilujeng Milangkala PGRI nu ka 62, Atikan Maju Lantaran Guru”, “Dirgahayu PGRI, Kesabaran Guruku Telah Melahirkan Diriku


Kalimat-kalimat
tersebut terpampang indah menghiasi sudut-sudut Kota Ciamis. Berbagai spanduk berisi pujian terhadap kaum pendidik dipasang diberbagai tempat strategis. Bahkan di depan sekretariat PGRI Ciamis, terpampang spanduk berfoto salah seorang tokoh, dengan kalimat, “Happy Birthday My Teacher”.

Ucapan tersebut merupakan sebuah apresiasi terhadap kiprah para guru. Namun yang menarik, ucapan tersebut terlontar dari sejumlah parpol. Mereka berlomba menghias kata terindah buat para pencetak generasi bangsa.

Ketika parpol memberi pujian terhadap kaum pendidik dengan memanfaatkan momentum Hari Guru, memang dipandang sesuatu yang wajar dan normatif. Ruang itu bukan wilayah haram bagi parpol maupun politisi guna menyampaikan ucapan selamat atau pujiannya. Namun benarkah mereka memuji guru tanpa pamrih?

Para politisi memang besar dan dibesarkan dengan jasa guru. Tak seorangpun anak bangsa yang berhasil meraih posisi terkemuka di negeri ini terlepas dari jasa mereka. Guru telah menjadi bagian tak terpisahkan dari bangunan universal bangsa ini. Maka hal biasa ketika mereka memuji guru. Namun nampak luar biasa ketika pujian itu diluar kebiasaan. Terkesan ada apa-apanya?

Drs. Hendaryan, MM, mantan Dekan FKIP Unigal melihat munculnya berbagai spanduk pujian terhadap guru dari parpol sebagai sesuatu yang wajar dalam konteks menejmen publik mereka. Sebab katanya, parpol butuh sosialisasi, termasuk didalamnya kepada elemen guru. Kalaupun kemudian muncul adanya kepentingan, maka akan dibarengi oleh tawar menawar kepentingan juga.

Namun begitu, jika apa yang disampaikan Hendaryan soal tawar menawar kepentingan itu kemudian muncul, maka faktanya adalah pamrih. Dan inilah yang kemudian akan melahirkan budaya politik dagang sapi. Budaya ini, walaupun dianggap wajar dalam berpolitik akan menghilangkan ketulusan sesama anak bangsa, apalagi persoalan yang dihadapi adalah rendahnya kualitas pendidikan kita dibanding dengan vietnam sekalipun.

Sebenarnya ada cara lain yang lebih mencerminkan ruang komunikasi antara guru dan parpol secara lebih terarah, sehingga menciptakan alur simbiosis mutualisme (saling menguntungkan). Alangkah baiknya pujian terhadap mereka diganti dengan karya nyata. Partai politik, apalagi yang memiliki kursi di parlemen memiliki daya tekan guna mengarahkan kebijakan agar lebih berpihak pada kepentingan guru.

Parpol seharusnya mampu melihat fakta dilapangan, bagaimana kondisi guru saat ini. Misalnya, para guru saat ini sedang dipusingkan oleh kebijakan yang tidak pasti, tunjangan lauk pauk sudah hampir setahun belum juga mereka terima.

Begitupun dengan tuntutan undang-undang yang mengharuskan guru harus berpendidikan minimal D4 atau S1. Saat ini dari sekitar 11.000 guru di Ciamis, baru sekitar 40 % yang sudah memenuhi standar undang-undang. Sisanya masih harus melanjutkan ke jenjang S1. Padahal kondisi kesejahteraan guru belum mencukupi untuk mampu membiayai kuliah mereka.

Belum lagi sekitar 6500 tenaga sukarelawan guru yang kesejahteraannya masih dibawah standar. Hingga saat ini, belum ada kebijakan politik yang mampu memberikan jaminan guna meningkatkan kesejahteraan mereka.

Jika parpol respon terhadap kondisi guru saat ini, mestinya satu persatu persoalan yang melilit profesi guru mampu diselesaikan melalui ruang politik di parlemen. Namun faktanya, parpol masih belum peduli. Guru masih saja belum mendapatkan haknya atas tunjangan lauk pauk, biaya melanjutkan studi pun masih sepenuhnya ditanggung sendiri. Padahal didaerah lain, subsidi pendidikan bagi guru telah ada sejak lama. Termasuk adanya subsidi kesejahteraan bagi para guru sukwan. Semua ini pasti harus ada campur tangan parpol melalui politisinya di parlemen.

Pujian parpol terhadap guru nampaknya belum memiliki korelasi positif dengan apa yang dibutuhkan guru saat ini. Sebab fakta dilapangan parpol dan guru masih berhubungan secara semu. Jika parpol dan guru ingin memiliki hubungan emosional yang kuat, keduanya harus saling memahami kondisi masing-masing. Ruang komunikasi seperti inilah yang lebih bisa memaknai hubungan emosional guru dengan parpol secara lebih bijak.

Potensi Politik Guru

Cukup banyak alasan kenapa parpol membidik elemen guru. Diantaranya, karena guru meliliki potensi yang luar biasa dalam rangka meraih simpati mereka guna merebut suara pada pemilu mendatang, termasuk didalamnya menjelang Pemilihan Bupati yang akan digelar tahun depan.

Jumlah guru di kabupaten Ciamis saat ini berjumlah sekitar 11.000, ditambah dengan guru sukwan sekitar 6.500. Status sosial guru dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini masih diakui ketokohannya. Bisa dibayangkan jika jumlah mereka yang tersebar hingga pelosok dijadikan mesin politik guna kepentingan meraih suara dalam pemilu mendatang. Karenanya wajar jika parpol berebut simpati guru.

Namun semuanya kembali ke parpol, guru bukanlah mahluk politik yang bisa dengan mudah diiming-imingi pujian. Namun yang diinginkan mereka, parpol mau menjadi pahlawan untuk keluar dari kesulitan yang saat ini mereka rasakan. Jika Parpol mau, mulailah dari sekarang. Mumpung pemilu masih lama digelar. ***