Berebut Potensi Politik Guru
Oleh : Aep Saepulloh, Redaktur KORAN IMSA
“Selamat Ulang Tahun Guruku, Namamu Akan Selalu Hidup dalam Sanubariku”, “Wilujeng Milangkala PGRI nu ka 62, Atikan Maju Lantaran Guru”, “Dirgahayu PGRI, Kesabaran Guruku Telah Melahirkan Diriku
Kalimat-kalimat tersebut terpampang indah menghiasi sudut-sudut Kota Ciamis. Berbagai spanduk berisi pujian terhadap kaum pendidik dipasang diberbagai tempat strategis. Bahkan di depan sekretariat PGRI Ciamis, terpampang spanduk berfoto salah seorang tokoh, dengan kalimat, “Happy Birthday My Teacher”.
Ucapan tersebut merupakan sebuah apresiasi terhadap kiprah para guru. Namun yang menarik, ucapan tersebut terlontar dari sejumlah parpol. Mereka berlomba menghias kata terindah buat para pencetak generasi bangsa.
Ketika parpol memberi pujian terhadap kaum pendidik dengan memanfaatkan momentum Hari Guru, memang dipandang sesuatu yang wajar dan normatif. Ruang itu bukan wilayah haram bagi parpol maupun politisi guna menyampaikan ucapan selamat atau pujiannya. Namun benarkah mereka memuji guru tanpa pamrih?
Para politisi memang besar dan dibesarkan dengan jasa guru. Tak seorangpun anak bangsa yang berhasil meraih posisi terkemuka di negeri ini terlepas dari jasa mereka. Guru telah menjadi bagian tak terpisahkan dari bangunan universal bangsa ini. Maka hal biasa ketika mereka memuji guru. Namun nampak luar biasa ketika pujian itu diluar kebiasaan. Terkesan ada apa-apanya?
Drs. Hendaryan, MM, mantan Dekan FKIP Unigal melihat munculnya berbagai spanduk pujian terhadap guru dari parpol sebagai sesuatu yang wajar dalam konteks menejmen publik mereka. Sebab katanya, parpol butuh sosialisasi, termasuk didalamnya kepada elemen guru. Kalaupun kemudian muncul adanya kepentingan, maka akan dibarengi oleh tawar menawar kepentingan juga.
Namun begitu, jika apa yang disampaikan Hendaryan soal tawar menawar kepentingan itu kemudian muncul, maka faktanya adalah pamrih. Dan inilah yang kemudian akan melahirkan budaya politik dagang sapi. Budaya ini, walaupun dianggap wajar dalam berpolitik akan menghilangkan ketulusan sesama anak bangsa, apalagi persoalan yang dihadapi adalah rendahnya kualitas pendidikan kita dibanding dengan vietnam sekalipun.
Sebenarnya ada cara lain yang lebih mencerminkan ruang komunikasi antara guru dan parpol secara lebih terarah, sehingga menciptakan alur simbiosis mutualisme (saling menguntungkan). Alangkah baiknya pujian terhadap mereka diganti dengan karya nyata. Partai politik, apalagi yang memiliki kursi di parlemen memiliki daya tekan guna mengarahkan kebijakan agar lebih berpihak pada kepentingan guru.
Parpol seharusnya mampu melihat fakta dilapangan, bagaimana kondisi guru saat ini. Misalnya, para guru saat ini sedang dipusingkan oleh kebijakan yang tidak pasti, tunjangan lauk pauk sudah hampir setahun belum juga mereka terima.
Begitupun dengan tuntutan undang-undang yang mengharuskan guru harus berpendidikan minimal D4 atau S1. Saat ini dari sekitar 11.000 guru di Ciamis, baru sekitar 40 % yang sudah memenuhi standar undang-undang. Sisanya masih harus melanjutkan ke jenjang S1. Padahal kondisi kesejahteraan guru belum mencukupi untuk mampu membiayai kuliah mereka.
Belum lagi sekitar 6500 tenaga sukarelawan guru yang kesejahteraannya masih dibawah standar. Hingga saat ini, belum ada kebijakan politik yang mampu memberikan jaminan guna meningkatkan kesejahteraan mereka.
Jika parpol respon terhadap kondisi guru saat ini, mestinya satu persatu persoalan yang melilit profesi guru mampu diselesaikan melalui ruang politik di parlemen. Namun faktanya, parpol masih belum peduli. Guru masih saja belum mendapatkan haknya atas tunjangan lauk pauk, biaya melanjutkan studi pun masih sepenuhnya ditanggung sendiri. Padahal didaerah lain, subsidi pendidikan bagi guru telah ada sejak lama. Termasuk adanya subsidi kesejahteraan bagi para guru sukwan. Semua ini pasti harus ada campur tangan parpol melalui politisinya di parlemen.
Pujian parpol terhadap guru nampaknya belum memiliki korelasi positif dengan apa yang dibutuhkan guru saat ini. Sebab fakta dilapangan parpol dan guru masih berhubungan secara semu. Jika parpol dan guru ingin memiliki hubungan emosional yang kuat, keduanya harus saling memahami kondisi masing-masing. Ruang komunikasi seperti inilah yang lebih bisa memaknai hubungan emosional guru dengan parpol secara lebih bijak.
Potensi Politik Guru
Cukup banyak alasan kenapa parpol membidik elemen guru. Diantaranya, karena guru meliliki potensi yang luar biasa dalam rangka meraih simpati mereka guna merebut suara pada pemilu mendatang, termasuk didalamnya menjelang Pemilihan Bupati yang akan digelar tahun depan.
Jumlah guru di kabupaten Ciamis saat ini berjumlah sekitar 11.000, ditambah dengan guru sukwan sekitar 6.500. Status sosial guru dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini masih diakui ketokohannya. Bisa dibayangkan jika jumlah mereka yang tersebar hingga pelosok dijadikan mesin politik guna kepentingan meraih suara dalam pemilu mendatang. Karenanya wajar jika parpol berebut simpati guru.
Namun semuanya kembali ke parpol, guru bukanlah mahluk politik yang bisa dengan mudah diiming-imingi pujian. Namun yang diinginkan mereka, parpol mau menjadi pahlawan untuk keluar dari kesulitan yang saat ini mereka rasakan. Jika Parpol mau, mulailah dari sekarang. Mumpung pemilu masih lama digelar. ***
1 komentar:
Ang, tulisannya bagus euy. Memang kita para guru pasti di incar parpol untuk pilkada. Bayangkan aja kang, ada 17500 guru. Khan lumayan untuk mendulang suara. Apalagi guru bisa menularkan pengaruh, karena umumnya guru diakui ketokohannya di masyarakat !!!
Posting Komentar