Selasa, 25 Desember 2007

Menyoal Penertiban PKL Pangandaran

Pedagang Kaki Lima (PKL) di sepanjang Pantai Pangandaran kini tak lagi bisa berdagang seperti biasanya. Kawasan tersebut beberapa waktu lalu ditertibkan aparat Satpol PP Kabupaten Ciamis. Konon dasar hukum yang digunakan adalah perda No 3 tahun 1987 jo No 16 tahun 1992 tentang K3. Namun benarkah perda tersebut dapat dipakai untuk memaksa para PKL Pantai Pangandaran meninggalkan kawasan wisata itu?

Kejadian Tsunami juli 2006, telah meluluhlantakan kawasan pantai, dan hampir dipastikan tidak lagi ditemukan adanya pedagang kaki lima. Disepanjang pantai, pemkab Ciamis memasang papan pengumuman, isinya melarang setiap orang mendirikan bangunan di sepanjang harim laut, berdasarkan perda 14 tahun 2000. Namun seiring pulihnya kembali arus kunjungan wisata ke Pantai Pangandaran, pedagang bermunculan kembali. Kawasan pantai pun dipenuhi kembali para PKL, termasuk ada diantaranya yang mendirikan bangunan, walaupun sifatnya semi permanen.

Penertiban PKL Pangandaran memang persolan lama yang tak pernah menemui titik temu. Pada satu sisi, pemkab Ciamis sebagai pemegang otoritas kawasan wisata mendambakan, kawasan pantai yang steril dari para pedagang, guna kenyamanan wisatawan. Bahkan pemkab Ciamis pada tahun 2006 menganggarkan dana hampir 1 milyar guna kepentingan relokasi PKL, walaupun kemudian tidak terealisasi karena pada pertengahan juli ditempa terjangan tsunami. Pada sisi lain, masyarakat yang telah puluhan tahun menggantungkan nasibnya dari keramaian arus kunjungan wisata tidak ada pilihan lain, karena perut tak bisa diajak kompromi.

Peristiwa tsunami memang menjadi momentum pemerintah guna mengadakan serangkaian penataan kawasan wisata pantai Pangandaran. Termasuk didalamnya, sikap pemerintah yang tidak lagi mentolelir adanya para PKL disepanjang pantai. Namun sayang, penertiban PKL di sepanjang pantai didasarkan pada perda K3, yang isinya tidak begitu tegas guna memaksa mereka meninggalkan kawasan pantai. Pada perda ini, hanya menegaskan dilarang berjualan di sekitar taman. Lantas darimana kawasan pantai “dinisbatkan” dengan taman?

Menurut Kabag Hukum Setda Pemkab Ciamis, Mahmud, SH pengambilan dasar persamaan kawasan pantai Pangandaran dengan Taman adalah Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kecamatan Pangandaran. Dalam RDTR tersebut, kawasan harim laut dinyatakan sebagai taman pantai.

Yang jadi pertanyaan kemudian, kalau kawasan Pantai dalam upaya penegakkan hukum disamakan dengan taman, lantas bagaimana dengan perahu nelayan yang hingga saat ini masih banyak terparkir disana? Bagaimana dengan pembuatan Landasan Pacu pesawat terbang milik Pengusaha Susi Pujiastuti dikawasan yang sama? Dan kenapa tidak sekalian ditertibkan? Jika hanya PKL yang ditertibkan, ini akan menjadi preseden buruk bagi upaya penegakan hukum secara adil. Bahkan para PKL bisa saja menggugatnya.

Aparat Satpol PP pun terkesan tidak percaya diri dengan apa yang ia lakukan. Terbukti, pejabat yang ditemui dalam urusan penertiban ini selalu menghindar untuk memberikan keterangan. Wartawan yang hendak meminta keterangan, malah disarankan untuk tidak memuatnya, karena persoalan sudah basi.

Terlepas dari hal itu, ada persoalan menarik yang dapat dijadikan kajian guna penataan kawasan wisata pantai Pangandaran kedepan. Ketika ada kesadaran hukum dari masyarakat, khususnya para pedagang sebagai bagian dari upaya ikut menciptakan kenyamanan bagi wisatawan. Nampaknya pemerintah belum siap dengan segala perangkatnya. Perangkat hukum yang tegas bagi mereka yang kemudian melanggarnya, maupun keberpihakan pemerintah dalam upaya menjamin kelangsungan hidup masyarakatnya, tanpa membedakan si lemah dan si kuat. (aep saepulloh/wartawan KORAN IMSA)

1 komentar:

pendekar galuh mengatakan...

are you better than other journalis at ciamis. i like your opinion. bravoo....for you!!!!